AWITOTO AWITOTO RAJABANDOT RAJABANDOT

Minggu, 03 September 2023

MASA KE MASA CLUB BERBINTANG BARCELONA

   

CERITA BARCA BAGI PARA DE CULES PEMULA





Bahkan sebelum mengubah lanskap sepak bola dengan menciptakan Tiki-Taka, FC Barcelona telah dikenal sebagai sebuah klub fenomenal.

Selama sejarah panjangnya yang sukses, mereka telah memenangkan banyak gelar, mulai dari Lague Liga, Copa del Rey, Liga Champions hingga Piala Winners. 

Sebagai salah satu klub terkaya dan terpopuler di dunia, mereka mampu dimiliki dan dibiayai secara eksklusif oleh pendukung mereka sendiri,

para Socios yang tergabung dalam sebuah koperasi. Sejak awal, Barcelona telah menjadi simbol Katalunya, lengkap dengan budayanya, sebagaimana tercermin dalam motto mereka,

Mes Que un Club : Lebih dari sekedar klub. 


AWAL MULA





1898, seorang pria asal Swis datang ke Katalunya dalam rangka membantu bisnis pamannya. Negeri yang ia singgahi telah sangat lama memendam bara dendam terhadap Spanyol dalam rentang 

sejarah yang penuh dengan konfrontasi selama berabad-abad. Kawasan otonom yang terdiri dari Provinsi Barcelona, Girona, 

Lleida dan Tarragona itu tak pernah merasa menjadi bagian dari Spanyol, karena memiliki kultur yang jelas-jelas berlainan dengannya. 


Suatu ketika, dalam jalan-jalannya di negeri yang berbatasan langsung dengan Perancis itu, secara tak sengaja, ia yang bernama lengkap Hans-Mark Kamper berpapasan 

dengan sekelompok pemuda yang sedang asyik bermain bola di suatu kawasan bernama Sarria. Lantas, sebagai mantan punggawa Zurich dan Basel, naluri persepakbolaannya mengemuka seketika. 


Setahun kemudian pada 22 Oktober 1899, pria yang lebih dikenal sebagai Joan Gamper itu berbulat hati ingin membentuk klub sepak bola. 

Setelah sepuluh orang yang terdiri dari  Otto Kunzle (Swiss), Walter Wild, John and William Brothers (Inggris), Cares Pujol, Eric Ducal, Luis d’Osso, Pere Cabot, 


Klub baru itu memulai perjalanannya dengan cukup sukses; setelah kalah dari Bizcaya di final Copa del Rey perdana pada 1902, 

Barcelona bangkit dengan memenangkan delapan kali kompetisi, antara saat itu hingga 1928. Tahun berikutnya, mereka merebut gelar La Liga perdana,

sebelum kemudian memasuki masa kemunduran akibat konflik politik yang sedang berlangsung di negara tersebut, yang eskalasinya makin membesar hingga mengakibatkan pecahnya Perang

 

Masa Gamper di Barcelona berakhir dengan tiba-tiba, setelah ia dideportasi dari Spanyol karena alasan politik. Beberapa tahun kemudian, ia bunuh diri.

Kondisi keuangan yang hancur-hancuran diduga menjadi pemicu dirinya depresi hingga lebih memilih mati. 


Josep Sunyol lalu luncul selaku pengganti : direktur baru  bagi FC Barcelona. Namun tak kunjung lama, statusnya sebagai politisi sayap kiri penentang Franco,

membuat langkahnya terhenti. Ia dieksekusi mati pada 1936. Hal ini, beserta sederet tekanan yang diberikan Franco atas ambisi nasionalnya kepada Barca beserta orang-orang Katalunya, 

konon menjadi musabab bagi lahirnya motto legendaris itu, yang kemudian hari pada 1967, didengungkan secara lantang oleh salah satu mantan Presiden Klub mereka, Narcis Serra,

yang mengatakan bahwa : Barca sudah bukan sekedar klub sepakbola. Melainkan simbol Katalunya dengan budaya serta cita-cita kemerdekaannya. 


RIVALITAS DENGAN TIM IBUKOTA





Insiden teriakan dalam pertandingan melawan CE Jupiter pada 1925, yang dimaknai sebagai olok-olok atas Royal March / Marca Real, lagu kebangsaan Spanyol kala itu,

menjadi muasal sekaligus penguat atas sentimen anti-Barcelona. Dan lebih jauh lagi, sentimen terhadap Katalunya sebagai tempat asal mereka,

yang hingga kini tak merasa menjadi bagian dari Espaniola.  


Meski rezim beralih ke tangan Franco, yang kabar burungnya diam-diam menyukai Barcelona, ambisi politik untuk menggemgam Spanyol secara militeristik 

membuat ia mesti bersikap pragmatis dengan tak memberi ampun kepada klub yang dicap sebagai representasi dari separatisme itu.


Pada 1943, laga semifinal Copa del Generalisimo yang mempertemukan mereka dengan Real Madrid, klub kesayangan Sang Mantan Raja sekaligus klub Ibukota 

yang kini dicengkeram Franco dengan begitu eratnya, menjadi muasal bagi rivalitas sengit di antara keduanya. Sempat menang 3-0 di kandang,

El Barca dipaksa menyerah 11-1 pada leg kedua, pasca tantara Franco meneror mereka sebelum dimulainya laga.


Tak cukup hanya di sana, El Clasico itu berlanjut hingga ke luar lapangan, tiap kali keduanya bersaing sengit memperebutkan tanda tangan. Pada 1951,

pria Hongaria bernama Ladislao Kubala begitu mempesona bagi Madrid dan Barca. Kali ini, pemain yang kemudian hari meleganda itu, menjatuhkan hati pada Barcelona. 

Tak mau kalah, pada 1953, secara mengejutkan Madrid membajak tanda tangan pemain Argentina yang sempat menginjakkan kakinya di Katalunya : Alfredo Di Stefano. 

Dialah yang pada masa setelahnya, menjadi legenda karena menyumbang raihan Piala Eropa, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Champions League, tanpa jeda,

selama 5 tahun beruntun bagi tim ibukota. 


Sambil tetap bergilir domonasi dalam beragam kejuaraan, perebutan pemain di antara keduanya terus berlangsung dari zaman ke zaman. Di antara nama-nama itu, 

Johan Cruyff adalah rekrutan paling ternama, selain karena nilai transfernya yang bombastis, kepindahannya ke Barca nampaknya juga menjadi perkara yang membekas di hati Don Santiago 

Bernabeu, The Big Boss Real Madrid, yang merasa dipecundangi oleh tingkahnya itu.  


Walau kehidupan di bawah Franco terasa cukup sulit dari sudut pandang politik, dua dekade pasca kematian Sunyol bisa dikatakan cukup berhasil bagi klub. 

Dalam kurun 1942 hingga 1957, Barcelona meraih lima gelar La Liga dan lima trofi Copa del Rey. Tak lama setelah kepindahan mereka ke Camp Nou yang baru dibangun,

pejabat klub membuka lembaran baru dengan menunjuk Helenio Herrera sebagai manajer. Di bawah Herrera – dan peraih Ballon d'Or, Luis SuΓ‘rez (bukan pesepakbola Uruguay yang suka gigit

itu) sebagai pemimpin di lapangan – Barcelona meraih dua La Liga berturut-turut serta satu Copa del Rey dalam tiga tahun kemudian.


Meskipun Barcelona mencatatkan sejarah sebagai tim pertama yang mengalahkan Real Madrid di Piala Eropa, dekade 60-an secara keseluruhan merupakan waktu yang mengecewakan 

bagi para fansnya. Dengan Di Stefano yang sedang berjaya, Real Madrid menjadi rival yang terlampau kuat hingga Barca mesti puas dengan hanya dua trofi Copa del Rey selama satu dekade. Lebih parahnya lagi, hal ini berlangsung terus menerus hingga tahun-tahun mendatang.


Pada 1973,  sebagaimana sempat disinggung, bintang asal Belanda bernama Johan Cruyff bergabung dengan klub dan menjadi sebab terkuat bagi raihan gelar La Liga pada1974, 

gelar La Liga pertama dalam sepuluh tahun terakhir. Setelah itu, perlu penantian yang cukup panjang bagi raihan gelar liga berikutnya, hingga Terry Venables menjabat manajer.

Meski kerap memperoleh hasil yang kurang berkenan di hati para fans, namun era ini bukanlah masa yang total suram bagi Barca.

Walau gelar Liga begitu sukar diperoleh, setidaknya, mereka meraih empat gelar Copa del Rey dan dua Piala Winners.


JOHAN CRUYFF SI BAPAK LA MASIA




Pada 1979, Cruyff yang telah cukup uzur itu datang dengan ide mendirikan akademi sepak bola yang kurang lebih akan mirip dengan Akademi Pemuda Ajax di Belanda. 

Proposal itu diterima, sebuah bangunan pedesaan tua bernama La Masia kemudian diubah menjadi markasnya. Tahun-tahun berikutnya pun menjadi sejarah,

La Masia menjadi terkenal ke seantero dunia karena berhasil menjadi rahim yang membuai para bintang muda, mulai dari Guardiola, Enrique, FΓ bregas, Iniesta, PiquΓ©, Busquets,

serta tentunya La Pulga, Lionel Messi.


1988 adalah tahun yang dikenang sebagai tahun kembalinya Johan Cruyff, Sang Legenda yang kini menjadi manajer Barca. Dalam sekejap, Cruyff membentuk tim impiannya.

Ia gabungkan pemain lokal seperti Pep Guardiola dan Txiki Begiristain dengan bintang kelas dunia seperti Michael Laudrup dan RomΓ‘rio Faria. 

Tak hanya itu, ia tanamkan pula filosofi baru bagi sepak bola, yang kini dikenal sebagai Tiki-Taka. Di bawah Cruyff, Barcelona merebut empat gelar La Liga, 

dua trofi Copa del Rey, satu Piala Winners serta satu trofi Piala Eropa pertama mereka.


Selain semua pencapaiannya selama di Barcelona, Cruyff juga menjadi pintu pembuka bagi apa yang kemudian dikenal sebagai β€˜Koneksi Belanda’.

Selama kurun 90-an hingga awal 2000, Ronald Koeman, Frank De Boer, Edgard Davids, Patrick Kluivert, hingga Giovanni van Bronckhorst,

adalah nama-nama Belanda yang silih berganti menghias starting eleven Barca.  Tak hanya sampai situ, bahkan pasca kepergian Cruyff pada 1996,

Louis van Gaal mengambil alih posisi manajer dan melanjutkan serangkaian hasil positif dengan membawa Barca meraih dua gelar La Liga, dua Copa del Rey dan satu Piala Winners.

Semuanya terjadi sebelum pergantian abad.


LAPORTA 1.0 





Kepergian Luís Figo ke rival abadi mereka, Real Madrid, yang sedang gencar membangun proyek The Los Galacticos pada tahun 2000, terbukti menjadi pukulan berat bagi Barça dan ambisi

mereka. Terjadi banyak perubahan dalam personel klub, namun keadaan tetap tak membaik, hingga seorang Belanda lain datang sebagai pelatih pada tahun 2005. Ialah Frank Rijkaard,

mantan bintang Milan dan Ajax Amsterdam. 


Seperti halnya Cruyff dan Van Gaal, Rijkaard membentuk tim bertabur bintang dengan meracik kombinasi lokal dan internasional.

Ia ramu suatu perpaduan istimewa antara Giuly, Deco, Eto’o dan Ronaldinho dengan produk La Masia yang Catalan punya seperti Puyol, Xavi dan Iniesta. Di bawah tangannya,  

Barca asuhan Rijkaard meraih dua La Liga dan satu Liga Champions.


Pada 2008, Guardiola mengambil alih posisi manajer, setelah sebelumnya melatih Barcelona B. Sebagai Made In La Masia, Guardiola  paham betul pentingnya akademi dan kemungkinan

apa yang dimilikinya. Metode pelatihannya berfokus pada Tiki-Taka yang kini terkenal di seantero dunia, yakni gaya permainan yang menggabungkan kegemaran Cruyff

dalam umpan cepat disertai gerakan konstan guna mempertahankan penguasaan bola dengan segala cara. Selain itu, taktik ini lebih menekankan penandaan zona daripada sistem tradisional 

berbasis formasi. Tak lama kemudian, resep itu berbuah hasil. Barcelona meraup begitu banyak keuntungan darinya. Menghegemoni sepak bola dunia. 


Selama empat tahun memimpin, Guardiola mengubah Barcelona menjadi klub paling dominan. Taburan bintang La Masia dengan Lionel Messi selaku punggawa utama,

membawa Barca menerjang semua rival yang menghalangi jalannya menuju juara.  Benar saja, tiga gelar La Liga, dua gelar Copa del Rey dan dua gelar Liga Champions pada 2008 dan 2012

menjadi hasilnya. Bahkan setelah kepergian Guardiola, Barca tetap melaju dengan rumus sukses yang sama, meski tak secermerlang sebelumnya.  Di tahun-tahun itu, mereka mengklaim 

tambahan dua La Liga, satu Copa del Rey dan Liga Champions pada 2015.


DANA VS NILAI-NILAI KATALUNYA





Selama bertahun-tahun lamanya, seragam Barca telah kosong dengan sengaja dari logo sponsor manapun kecuali UNICEF, dalam suatu kesepakatan yang istimewa. Namun pada 2010, 

deal seharga €30 juta dengan Qatar Foundation, nampaknya merupakan tawaran yang tak dapat ditolak oleh Sandro Rossel yang baru terpilih sebagai Presiden Klub 

menggantikan Joan Laporta yang telah melalui masa gemilang sejak kedatangannya pada 2003. Dengan beragam alasan, keputusan kontroversial ini diambil. 

Selain fakta bahwa T-shirt mereka menjadi tak lagi "bersih", kesepakatan dilakukan dengan perusahaan yang berasal dari negeri yang dipimpin rezim diktator. 

Hal ini kemudian dipandang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut Barca selaku representasi Catalan dengan segenap kebudayaanya. 

Meski para Socio mengatakan ya,tak seluruh fans menerima itu dengan hati yang gembira


MESSI YANG PERGI, LAPORTA YANG KEMBALI





Pasca Raihan Liga Champions pada 2015, era sesudahnya bisa dikatakan biasa-biasa saja. Kehadiran Presiden baru bernama Joseph Maria Bartomeu, meski sempat digadang mampu membawa Barca melanjutkan tren kegemilangan,

ternyata tak mampu membawa kemajuan. Alih-alih mendatangkan perbaikan, Bartomeu justru membawa Barca pada era yang tak memuaskan. 


Selain Entrenador yang mudah datang dan pergi, era Bartomeu juga dikenang sebagai era pemborosan yang kemudian membawa Barca terjerat timbunan utang. 

Belanja pemain yang dilakukan tanpa perhitungan matang, membuat Barca terperangkap over-value atas datangnya pemain baru selama bursa transfer di tiap musim


Tak perlu lama bagi para Socio untuk mengambil tindakan bagi Bartomeu. Pemilihan Presiden baru pun digelar. Joan Laporta kembali, meraih kursi yang sempat ia tinggalkan 

pada satu dekade silam. 


Di tahun pertamanya, upaya perbaikan ia lakukan. Format lama berupa Koneksi Belanda kembali ia aktifkan. Ronald Koeman ditunjuk guna menjabat kursi pelatih. 

Namun sayang, belum genap setahun berselang, pandemi Korona datang menyerang. Klub yang retak pasca era Bartomeu itu menghadapi ujian terberatnya dari sisi keuangan. 

Ketentuan mengenai gaji pemain yang diatur sedemikian rupa oleh La Liga, tak bergayung sambut dengan aspirasi 

pemain untuk mendapat gaji yang sepadan dengan kiprahnya yang merajai belasan kejuaraan. 


Alhasil, yang tak terbayangkan pun terjadi. Lionel Messi, sang ikon klub Catalan itu pergi ke Paris Saint Germain (PSG) tanpa perpanjangan kontrak dari klub yang telah membesarkan 

namanya. Bersamaan dengan hengkangnya Sergio Ramos yang merupakan mantan ikon klub ibukota, kepergian Messi menjadi penanda atas dimulainya era baru bagi Barcelona. 

Sekaligus pula, era baru bagi sepak bola dunia.


Apa Yang Terjadi Jika Indonesia Bertanding Di Piala Dunia

   Di tempat di mana dia pernah jadi sasaran rasisme masa kemudian, ayub Junior tampak selaku penyelamat dengan 2 berhasil buat bawa Ayam Ki...